2012 in review
The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2012 annual report for this blog.
Here’s an excerpt:
600 people reached the top of Mt. Everest in 2012. This blog got about 3,700 views in 2012. If every person who reached the top of Mt. Everest viewed this blog, it would have taken 6 years to get that many views.
Filed under: Uncategorized | Leave a Comment
Tags: Blog, Review
Merealisasikan Mobnas
Opini Republika, 10 Januari 2012
Sejak Nicolaus August Otto pada 1887 merancang dan mematenkan mesin empat langkah berbahan bakar gas, boleh dibilang mesin penggerak (engine propulsion) yang digunakan dalam sebuah mobil didasarkan pada prinsip rekayasa mekanika yang sama. Mobil-mobil di jalanan dengan variasi kecanggihannya dan aksesoris tambahan masih tetap mengaplikasikan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) dengan konsep yang dikembangkan Otto. Bahkan, dalam literatur rekayasa mesin, mesin-mesin mobil tersebut sering disebut sebagai mesin Otto.
Jadi, tidaklah mengherankan kalau teknologi ini pada dasarnya bisa dikembangkan oleh siapa pun, meskipun tidak memiliki sejarah ilmu pengetahuan otomotif yang kuat. Sebutlah Cina, Korea, Malaysia, atau Iran. Teknologi otomotif bukan hanya soal mesin, tetapi termasuk di dalamnya teknologi rangka dan komponen-komponen utama ataupun pendukung yang lain.
Perkembangan teknologi otomotif tidaklah benar-benar stagnan. Inovasi-inovasi sering kali dilakukan produsen mobil sebagai upaya menghadapi tuntutan konsumen yang membutuhkan mobil yang hemat, kenyamanan yang lebih, dan juga terjaminnya keselamatan. Faktor pendorong yang lain adalah tuntutan terhadap adanya produk mobil yang lebih bersih sebagai wujud kesadaran akan lingkungan.
Filed under: mobnas, opini, otomotif | Leave a Comment
Tags: arina, gea, kebijakan mobil nasional, koran, mobnas, opini, republika, tawon
Menimbang Mobil Esemka
Kolom Koran Tempo, Selasa, 10 Januari 2012
TEMPO.CO, Masalah mobil nasional mencuat kembali menjadi wacana publik setelah Joko Widodo, Wali Kota Solo, akan menggunakan mobil rakitan anak-anak sekolah menengah kejuruan, Kiat-Esemka, sebagai mobil dinasnya. Tentu wacana ini menimbulkan polaritasnya sendiri di masyarakat. Memang tampaknya pengembangan produk berbasis teknologi yang dipelopori pemerintah umumnya tidak bisa disebut berhasil, lihatlah PT Dirgantara Indonesia, yang terus-menerus membutuhkan suntikan dana. Hal terakhir ini ikut menyumbang energi apatisme terhadap lahirnya produk-produk berbasis teknologi. Terlepas dari itu, gencarnya wacana mobil Esemka semakin memperlihatkan gairah akan kecintaan kepada produk buatan dalam negeri.
Berbeda dengan pesawat terbang, mobil Kiat-Esemka lahir dari sebuah inisiatif pendidikan. Program pembuatan mobil ini adalah sebuah paket pendidikan anak-anak sekolah menengah kejuruan yang dibiayai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, tujuan utama dari perakitan mobil itu tentu untuk pelatihan tenaga-tenaga kelas menengah. Namun ternyata hasilnya di luar dugaan dan hal ini menyuntikkan optimisme baru bagi sebagian masyarakat, bahwa pada level sekolah menengah atas saja kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia sudah tidak boleh dipandang remeh, bagaimana dengan mereka di universitas atau institut-institut teknologi.
Faktanya, memang SDM muda Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dua tahun terakhir Indonesia, yang diwakili ITS Surabaya, memenangi lomba tingkat Asia dalam hal membuat mobil yang irit sekaligus ramah lingkungan. Beberapa orang Indonesia juga bekerja dan atau menduduki jabatan strategis pada perusahaan perusahaan otomotif bonafide dunia, baik sebagai ekspatriat di luar negeri maupun sebagai insinyur lokal pada perusahaan-perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sumber daya manusia tidak bisa dipandang sebagai suatu kendala dalam proses lahirnya produk teknologi. Hanya, banyak orang tahu bahwa produk mobil atau motor memang bisa saja lahir atau beredar di pasar, kemudian menjadi booming dengan mudah, namun pada akhirnya menghilang dengan sendirinya. Tanggapan negatif, ataupun cibiran atas mobil Kiat-Esemka oleh beberapa kalangan masyarakat dan beberapa elite pemimpin, barangkali didasari rasionalitas seperti itu.
Faktor trauma masa lalu boleh jadi ikut berpengaruh membentuk paradigma apatisme soal mobil nasional. Semangat menciptakan mobil nasional telah dimulai pada era 1970-an dengan bermacam-macam kebijakan yang pada akhirnya kandas dengan berbagai macam penyebab. Era 1980-an, gairah memiliki mobil nasional pernah dimanifestasikan dalam proyek besar semacam Maleo, yang dipelopori Habibie, yang waktu itu menjabat Kepala BPPT. Dari kalangan swasta, sebutlah Bakrie Group, bahkan Astra Group sendiri, yang adalah pemilik banyak ATPM di Indonesia, pernah membuat purwarupa mobil nasional.
Pada era 2000-an belakangan ini sudah dijumpai produk-produk mobil dari proyek-proyek kecil yang secara mandiri dikembangkan oleh masyarakat dengan dukungan terbatas dari pemerintah. Saat ini sudah ada beberapa merek, baik dalam tahap purwarupa ataupun sudah dalam masa produksi dan dijual, di antaranya yang mungkin dikenal masyarakat adalah GEA dan Kancil. Namun, sayangnya, kedua merek mobil tersebut, yang notabene lahir lebih dulu dari Esemka, tidak juga diterima pasar, terlepas dari fakta bahwa mobil merek GEA lahir dari inisiatif teknologi. Dalam hal ini, BPPT yang mengembangkan mesin GEA dan PT INKA Madiun yang bertanggung jawab atas bodi kendaraan.
Dalam perkembangannya sejak Karl Benz (1885) mematenkan kendaraan transportasi dengan mesin berbahan bakar bensin, teknologi mobil telah mengalami evolusi. Kemajuan teknologi dalam mobil ini berjalan seiring dengan kemajuan sains dan inovasi teknologi, terutama didorong oleh tuntutan masyarakat modern. Dalam merancang dan membuat komponen mobil, berbagai disiplin ilmu diperlukan, dari ilmu mekanika, kimia, ilmu bahan, hingga ilmu-ilmu elektronika. Dari uraian di atas, harus diakui menciptakan produk mobil memerlukan deposito pengalaman (learning curves) dan pengetahuan yang tidak sedikit. Mobil-mobil yang sudah di jalanan pada umumnya memang adalah hasil perbaikan-perbaikan yang berkesinambungan, yang dalam literatur industri mobil Jepang terkenal sebagai continuous improvement.
Meski demikian, sebagian besar pokok-pokok ilmu dan teknologi yang sangat kompleks tersebut boleh dikatakan telah menjadi domain publik, baik berupa publikasi ilmiah, laporan-laporan penelitian, maupun buku buku teknik, di mana pada masa Internet saat ini mudah didapatkan. Bukti empiris berkaitan dengan hal ini adalah keberhasilan Cina, Malaysia, atau bahkan Iran dalam membangun mobil nasionalnya. Sejak 2008, Cina menjadi produsen mobil terbesar di dunia dengan merek lokal mencapai 44 persen dari total produksi, meskipun industri otomotif mereka tergolong muda seperti yang ditulis Mark Norcliffe dalam bukunya (China’s Automotive Industry). Mark juga menuliskan bahwa komponen dalam negeri produk mobil Cina mencapai 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sukses Cina tidak hanya menjadi perakit mobil, namun juga telah kokoh membangun industri itu. Cina, Iran, dan Malaysia sama sekali tidak punya basis teknologi otomotif, namun mereka membuat kebijakan supaya industri ini bisa tumbuh sebagai perusahaan dengan inisiatif lokal. Uraian ini menunjukkan bahwa ada suatu celah, meski teknologi terlihat kompleks, namun dokumentasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu bisa didapatkan dan dengan berbagai model kebijakan, rancang bangun suatu produk berbasis teknologi bisa dilakukan.
Mobil Kiat-Esemka adalah semacam realitas lain dari wacana produk teknologi yang terdahulu, di mana pada kasus yang lalu, sebutlah proyek IPTN atau mobil nasional Timor, lahir bersifat top-down. Sedangkan Esemka lahir lebih bersifat bottom-up, di mana ia lahir dari masyarakat akar rumput dan kemudian menjadi berpengaruh di kalangan elite politik dan kemudian menjadi wacana publik. Realitas yang kedua, produk bagaimanapun kualitasnya ternyata bisa dilepas di masyarakat dengan syarat harus dimulai oleh proses keteladanan oleh pemimpin dalam menggunakan produk tersebut.
Beberapa masyarakat menuntut adanya kebijakan industri yang bersifat proteksionis. Namun, berdasarkan pengamatan pada masa pertumbuhan industri otomotif sendiri, kebijakan proteksionis tidak bisa dilaksanakan. Hal ini tentu disebabkan oleh kondisi kekinian Indonesia dalam konteks global. Indonesia sudah terlibat dalam berbagai macam perdagangan bebas, sehingga sulit menerapkan kebijakan industri yang tidak bertentangan dengan komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam rangkaian globalisasi perdagangan.
Namun kebijakan yang mendukung di luar konteks perdagangan dan industri sangat potensial diterapkan, antara lain; pertama, menambahkan besaran dana riset dari pemerintah untuk menunjang rancang bangun kendaraan. Dalam kasus Esemka, perguruan tinggi dan lembaga riset bisa dilibatkan secara intens pengembangan produk tersebut. Kedua, memberikan hibah dengan model kompetisi bagi pengusaha atau calon pengusaha yang bergerak dalam sektor otomotif berbasis lokal. Hal ini memungkinkan tumbuhnya wirausahawan baru dalam bidang-bidang teknologi otomotif yang bukan tidak mungkin akan menghasilkan produk kreatif dan solutif yang laku di pasar.
Dua solusi di atas tampak cukup klasik, dan memang telah diterapkan oleh banyak negara. Di Amerika, dua paket kebijakan tersebut sukses membangun industri baterai lithium ion yang digunakan pada mobil-mobil listrik yang mana Jepang telah menjadi penguasa pasar sejak awal.
*) Suwarno, staf pengajar Departemen Teknik Mesin ITS
Filed under: mobnas, opini, otomotif | Leave a Comment
Tags: esemka, gea, mobil nasional, mobnas, opini, tempo
Note: Postingan ini adalah full version tulisan lama di harian Jurnal Nasional, 3 Oktober 2011
Pandangan negatif Johnny Darmawan terhadap mobil nasional yang dilaporkan beberapa media daring tak pelak membuat heboh milis, blog, dan jejaring sosial. Sebagain besar masyarakat kecewa terhadap pernyataan direktur agen tunggal pemegang merek (ATPM) mobil terbesar se-Indonesia tersebut. Kekecewaan masyarakat itu cukup bisa dipahami. Sudah lama bangsa Indonesia mendambakan adanya produk mobil dalam negeri, namun pada masa orde baru harapan itu dicederai (abused) oleh pemerintah sendiri dengan kebijakan yang bermuatan nepotisme.
Sampai saat ini, pada masa reformasi-pun tidak tampak bahwa pemerintah sangat peduli dengan perkembangan mobnas. Tidak banyak kebijakan yang mendukung mobnas. Kehadiran beberapa pejabat di stan-stan pameran mobnas, tak lebih sekedar ajang menampakkan diri, kalau tidak boleh dibilang dukungan palsu; kelihatan sangat mendukung, namun kenyaataannya tidak ada satupun kebijakan industri yang mendukung perkembangan mobnas. Namun sebaliknya, pemerintah pada akhir tahun ini, jika sesuai rencana, akan mengeluarkan peraturan pemerintah soal ecocar, dimana pemerintah akan memberikan insentif kepada produsen mobil-mobil yang ramah lingkungan berharga murah. Mobil semacam itu akan mempunyai mesin dengan volume mesin(cc) kecil dengan harga jual kendaraan yang murah dimana segmen tersebut adalah segmen pasar mobnas. Tentu saja, insentif seperti itu akan lebih menguntungkan ATPM yang mempunyai kesiapan teknologi, merk, dan jaringan pasar.
Sikap negatif pelaku bisnis otomotif di Indonesia mudah dipahami, semata-mata persoalan bisnis, mereka membawa misi prinsipal-nya untuk menjamin keuntungan dan keberlanjutan bisnis. Namun sikap pesimis beberapa orang Indonesia terutama sikap pesimis pejabat pemerintah sangat layak diluruskan. Barangkali pemerintah punya persepsi mirip dengan mereka yang berpandangan bahwa tidak terlalu penting mengembangkan produk mobil nasional, toh mobil-mobil yang sekarang ada sudah dibuat di Indonesia. Lagi pula, menurut pihak yang kontra, sektor ini juga sudah banyak menyerap banyak tenaga kerja, lalu apalagi.
Perlu dipahami membangun industri mobnas bukan hanya persoalan tenaga kerja, sampai tahun 2008, sektor kendaraan bermotor roda empat hanya mempekerjakan sekitar 35.7 ribu orang. Angka tersebut adalah peringkat kesekian dibanding pekerja sektor lain pada industri sedang dan besar. Tidak mau mengatakan bahwa angka itu kecil, namun dibanding sektor makanan dan minuman (721 ribu), maka angka itu relatif kecil. Sampai saat ini, industri otomotif adalah berkonsep ATPM, dimana margin dana riset dan pengembangan tetap kembali ke negara prinsipal terlepas di mana lokasi mobil dibuat.
Fakta menyebutkan bahwa selama ATPM hadir di Indonesia, tranfer teknologi tidak pernah terjadi. Tranfer teknologi bisa ditandai dengan terjadinya akuisisi, implementasi dan pengembangan teknologi tertentu, lalu diikuti dengan kemampuan secara mandiri mengembangkannya, misal pengembangan produk baru. Sebuah penelitian membuktikan bahwa selama kurun waktu 1967-2000, tidak ada transfer teknologi yang signifikan sebagai akibat adanya industri otomotif di Indonesia (Wie, 2001).
Cukup bisa dipahami jika transfer teknologi tidak pernah ada, kanal-kanal tranfer teknologi, sebagai contoh investasi asing (FDI) dan lisensi teknologi tidak pernah bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dengan kebijakannya, di samping yang lebih utama adalah keengganan prinsipal asing untuk mentransfer teknologinya (Tarmidi, 2001). Sebagai contoh, sampai setengah abad lebih mobil Jepang di indonesia, tidak ada divisi research dan development (R&D) khusus oleh prinsipal Jepang di Indonesia, lebih-lebih pada teknologi yang dominan, seperti karburator, atau sistem injeksi. Maka tentu tidak ada banyak kontribusi bagi pengembangan dan akumulasi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Barangkali menarik dicatat, satu mobil kurang lebih tersusun dari 30 ribu komponen independen. Ilmu dan teknologi yang dibutuhkan untuk merancang, memproduksi dan merangkai komponen sebanyak itu sangat multi disiplin, dari ilmu teknik mesin, elektro, sampai ilmu bahan. Bidang lain yang cenderung ke arah art semacam ilmu desain dan seni rupa bisa digunakan untuk membuat rancangan mobil dengan tampilan menarik sekaligus memaksimumkan fungsi-nya. Untuk mendapatkan produk yang cost efficient, maka ilmu ekonomi dan manajemen dibutuhkan.
Dilihat dari segi multidisplin-nya itu, kita akan tahu bahwa dengan membangun industri otomotif berarti juga membangun ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di Indonesia. Lagi pula, IPTEK bila telah dikuasai juga akan bersifat adaptable. Maka akumulasi juga memberi dampak positif pada kemajuan di bidang lain Hal ini memberikan semacam spillovereffect berupa pengembangan bidang atau aplikasi lain itu, misalnya berkembanganya industri otomotif sangat potensial membawa kemajuan di bidang alat alat pertanian atau energi terbarukan.
Penelitian Argon Nasional Laboratory di Amerika, sekitar 6% dari harga yang total sebuah mobil, adalah besaran dana R&D untuk membuat sebuah mobil tersebut . Angka ini akan sangat tinggi jika melihat bahwa kurang lebih 600-700 ribu unit kendaraan roda empat terjual di Indonesia per tahunnya. Di sana, sebagaian dari dana itu mereka gunakan untuk membiayai riset mahasiswa dari sarjana S1 hingga doktor. Tak mengherankan jika kemampauan IPTEK mereka simultan dengan jumlah tenaga ahlinya makin lama akan makin menumpuk, jauh lebih maju dan banyak dari negara-negera tempat ATPM mereka berada. Mengingat dana riset Indonesia termasuk terkecil di dunia (0.1% dari GDP) maka angka tersebut di atas sangat stretegis untuk membiayai penelitian penelitian bersama antara perusahaan dan universitas.
Jadi pembangunan industri mobnas di Indonesia, tidak hanya persoalan tenaga kerja, tidak juga hanya menyangkut kebanggaaan karena memiliki produk dalam negeri. Tapi lebih jauh dari itu, mendukung kemajuan mobnas, berarti mendukung akumulasi IPTEK, membangun sumber daya manusia Indonesia. Dan pada akhirnya mendukung tercapainya cita cita Indonesia sebagai negara yang maju yang bercirikan dengan kemajuan ekonomi berbasis IPTEK.
salam
Suwarno
Filed under: otomotif | Leave a Comment
Tags: esemka, gea, mobil nasional, mobnas, tawon
Pedang Damaskus, pedang terhebat
Sejak dulu saya suka melihat filmfilm perang kolosal. Salah satu film seperti itu, selain Lord of the Ring series, adalah The Last Samurai. Dan kini saya sungguh ingin menyaksikan sebuah film yang mempertemukan dua pendekar dari timur tengah dengan pendekar dari Jepang (Samurai). Sebabnya saya ingin menonton dua pedang hebat bertemu di medan film…dan ingin mengatahui dalam film itu pedang manakah yang paling hebat. Apakah pedangnya para Samurai yang bernama Katana atau pedang para pejuang Islam yang dalam literatur sains kekinian disebut sebagai Damascus sword. Di dunia nyata ini saya bisa menemukan komentar dari ahli pedang damaskus yang tulisannya dimuat di majalah Scientific American (SA) berikut:
And those with Damascus sword- which westerners first encountered during the Crusades against the Muslim nation-had what some consider to be the best sword of all –John D Verhoeven, SA Vol.284, Jan 2001
Dan konon ceritanya, pedang damaskus mampu membelah kain sutera menjadi dua bagian di udara. Anda bisa banyangkan setajam apakah pedang ini. Dan jangan bayangkan lebih lanjut jika pedang ini mengenai leher.
By the way, bicara soal pedang. Apakah karakter yang dibutuhkan oleh sebuah pedang? Pedang harus punya dua karakter utama pertama adalah tajam, dan kedua adalah tangguh. Tajam tentunya cukup jelas; harus dapat memotong sasaran menjadi bagian yang sempurna. Dan tangguh adalah kemampuan untuk menyerap energi sebesar mungkin tanpa harus patah, tangguh lawannya adalah getas atau brittle (mudah patah/pecah). Tangguh ini adalah mirip seperti sifat palu yang digunakan untuk membelah batu. Tidak seperti sifat bodi kendaraan balap F1 yang ketika tabrakan hancur berkeping-keping. Tentunya, adalah sangat menghawatikan, kalau misalnya pedang harus patah di tengah medan perang ketika melawan pedang musuh.
Menjadi masalah kemudian dua karakter diatas tajam dan tangguh adalah suatu karakter yang saling berkebalikan. Tajam cenderung getas dan tangguh cenderung tidak tajam. Atau dengan kata lain ketika seorang menaikkan ketajaman (catatan: tajam hampir sama dengan keras), ketangguhan cenderung turun dan begitu sebaliknya. Sehingga tantanganya adalah mengkombinasikan dua karakter itu menjadi satu seutuhnya; tangguh sekaligus tajam.
Untuk mendapatkan sifat itu pembuat pedang (empu/smith) sering menggunakan teknik tempa dengan menggabungkan dua baja yang mempunya sifat tangguh dan sifat tajam/keras. Caranya dengan menaruh baja keras di bagian luar (sisi tajam) dan baja tangguh pada bagian dalam pedang kemudian menempanya berulang kali. Sehingga dua baja dengan karakter beda itu menjadi satu dalam pedang. Cara ini sering juga disebut dengan pattern welding. Katana dari Jepang dan juga Keris dari Indonesia dibuat dengan metode ini. Tapi tidak dengan pedang damaskus.
Itulah yang kemudian mejadi unik, sebab sampai sekarang metode exact pembuatan pedang ini more or less masih misterius. Meski ada beberapa ahli yang mengklaim telah berhasil membuat pedang tiruannya, namun ada juga beberapa ahli yang masih meragukannya. Sebab ternyata berdasarkan observasi dengan alat yang modern dan canggih. Jika dilihat jauh lebih dalam lagi ke struktur pedang damaskus, terdapat sesuatu struktur yang canggih yaitu struktur carbon nanotube (ditemukan baru pada tahun 1991). Ahli diatas, yang mengklaim telah berhasil membuat pedang damaskus tiruan belum membuktikan bahwa dalam struktur lebih dalam ia juga menemukan struktur yang sama- carbon nanotubes tadi.
Tapi apa itu nanotubes? Dilihat dari asal katanya nano yang adalah ukuran, yaitu 1 nanometer sama dengan 1 per satu milyar meter. Anda bisa membayangkan betapa sungguh sangat kecil itu. Tube adalah suatu bentuk seperti pipa, lihat gambar di atas (dalam dunia engineering istilah tube tidak sama dengan pipa). Carbon nanotubes adalah struktur lain dari atom karbon yang sama dengan atom karbon pada grafit yang sering kita temui sebagai bahan ujung pensil. Dan sama juga dengan atom karbon pada diamond. Dengan kata lain perbedaaannya hanya ada pada struktur kristalnya.
Lalu apa hubungangannya dengan ketangguhan dan ketajaman pedang? Carbon nanotube mempunyai karakter yang luar biasa, kekuatannya 20-30 kali kekuatan baja paling kuat, demikian juga dengan kekerasannya. Jadi jika misalnya seutas kawat dengan diameter sekian milimeter mampu menahan sepenuhnya tubuh satu orang unuk menggantungkan diri dari sebuah helikopter, maka hanya dibutuhnya kawat nanotubes dengan luas penampang 1/20 dari luas penampang baja tadi. Put another way, dengan luas penampang yang sama, kawat carbon nanotube dapat menahan kurang lebih 20 kali beban yang mampu ditahan kawat baja tadi.
Baja pada umumnya mempunyai fasa dominan yang disebut ferit yang sifatnya lunak. Namun pada baja pedang damaskus, terdapat struktur (fasa) carbon nanotubes yang sangat kuat. Stuktur carbon nanotube tadi terdistribusi tertentu di dalam ferit, sedemikian hingga menghasilkan kombinasi sifat akhir yang sangat luar biasa. Itulah pedang yang ditakuti para ksatria Eropa beratus-ratus tahun.
Dan sampai saat ini belum ada scientists yang bisa menemukan bagaimana cara membuat carbon nanotubes dalam struktur mikro baja. Termasuk bagaimana membuat pedang damaskus dengan struktur yang sama seperti aslinya. Pelajaran penting dan mencengangkan lainnya adalah, dengan pengalaman ternyata suatu masyarakat bisa menciptakan sesuatu karya yang elegan, bahkan bisa dibilang melebihi sejarah pengetahuan itu sendiri. Luar biasa!
Salam
w…
Gambar pedang Damaskus dari Majalah Muse
Bacaan lebih lanjut,
http://www.tms.org/pubs/journals/JOM/9809/Verhoeven-9809.html
http://www.nature.com/nature/journal/v444/n7117/abs/444286a.html
Nanowires in ancient Damascus steel, Journal of Alloys and Compounds, doi:10.1016/j.jallcom.2003.10.005
Filed under: Baja Maju | 21 Comments
Tags: Baja Maju, nanotube, pedang damaskus, rekayasa material, sains islam
Memprediksi nasib Gea!
Hari ini saya tertarik memprediksi nasib Gea! Gea tentu bukanlah Gea si gadis Indonesian Idol, bukan juga Gya si penyanyi cewek yang bersuara merdu itu. GEA adalah kependekan dari Gulirkan Energi Alternatif (Sound strange, huh?) Adalah mobil yang diproduksi oleh INKA madiun si pabrik kereta api yang dulu pernah juga memproduksi kendaraan dengan nama Kancil. By the way kemanakah si Kancil itu ya! Barangkali Gea inilah generasi penerusnya.
Gea menarik buat saya, pertama karena ini adalah kesekian kalinya mobil nasional atau mobnas diproduksi di Indonesia. Kedua, ada ramai-ramai di Indonesia bakalan ada insentif (Bisnis Indonesia, 25 July 2009), entahlah berupa apa, dari pemerintah untuk mobil yang katanya bisa menunjang kelestarian lingkungan dan penghematan energi, sebutlah economically efficient and environtmentally friendly…Dan yang ketiga, corporasi besar dunia dari India; Tata ( FYI: company ini dikenal sebagai produsen baja) sekarang telah memproduksi mobil sekelas dengan Gea. Rencananya Tata juga akan memasarkan produknya itu di Indonesia.
Mari bicara mobnas. Saya tidak bisa tidak harus menyebut nama Habibie di sini. Saya pikir Professor yang satu itu adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang bervisi cemerlang. Meski banyak juga yang menyalahkannya pada hal-hal lain, semacam kasus IPTN. Pak Habibie lah yang terbukti sangat antusias membangun kemajuan Teknologi di Indonesia. Menyangkut mobnas, awal tahun 90 an, pak Habibie sudah-ancang ancang bikin mobnas itu. Tahun 1996 desain dan prototype sudah selesai dan ramai di TV nasional, bersamaan tentunya dengan pesawat Gatot Kaca yang luar biasa ramai, sampaisampai banyak bocah kecil bercita-cita bikin pesawat. Rencananya tahun 1998 mobnas pertama itu akan diproduksi masal. Itu project serius karena puluhan insinyur dari IPTN, BPPT dll terlibat. Tapi, belum juga si mobnas yang bernama Maleo ini muncul, si Timor muncul duluan. Tentu mobil Timor ini cuman adopsi dari korea sana bukan produk dalam negeri. Yah itu kelakuan Mr Tommy suharto. Dan akhirnya si Maleo tidak jadi diproduksi, pertama karena keduluan mobil timornya Tommy dan yang kedua krisis nasional di Indonesia. Mobnas pertama gagal.
Dan kini ada Gea, dan Gea setahu saya bukan proyek nasional yang didukung penuh pemerintah seperti halnya Maleo dulu. Selain Gea ada juga mobil produksi nasional yang lain semacam Arina, Tawon untuk jenis city car dan Komodo untuk track khusus, ada juga mobil buatan anak anak SMK! Kalau tertarik bisa melihat di Youtube…well begitu banyak mobil nasional rupanya, atau paling tidak kita (Indonesia) bisa membuat mobil, dan jadi ingat oh iya ya, jangankan mobil pesawat ajah kita bisa. Nah, tentu saja hal itu akan menjadikan otak jadi semakin paradoxial atau mumet, ya kalau gitu kenapa kita harus nyetor laba tahunan ke Jepang sana?
Tapi marilah sebelumnya kita berkunjung ke Taiwan. Sejak tahun 90-an sampai saat ini Taiwan termasuk negara produsen semikonduktor besar di dunia, tahun 2001 mereka menguasai pasar IC dunia sebanyak 79%. Mereka juga kuat di sektor komunikasi dan telekomunikasi. Salah satu faktor keberhasilan mereka adalah tidak lain karena kebijakan pemerintah Taiwan yang sejak tahun 1970 sudah mulai memberikan keberpihakan pada industri itu. Keperpihakan di sini bisa dalam berbagai macam regulasi dan insentif-insentif agar teknologi tertentu dapat tumbuh di dalam negeri. Jadi apa yang kita pelajari dari Taiwan adalah keperpihakan ke dalam negeri. Contoh lain, Industri solar energy di Jerman bisa tumbuh lebih dari 400% sejak 2002, sebab pemerintahnya berpihak pada sektor itu.
Kembali ke Gea, konon kabarnya si Gea mau di jual 45 juta rupiah on the road, well 600 CC. Si pesaing dari Tata yang mereka sebut Nano atau sebutlah Tata nano di India dibandrol 25 jutaan rupiah. Kedua mobil ini tidak hanya akan megandalkan bodi mungilnya yang konon tidak menyesakkan jalan. Namun mereka akan juga bicara soal ramah lingkungan sebab CC mesin yang kecil berarti hemat energi, berarti hemat BBM, dan berarti pula akan memproduksi gas CO2 rendah. Sebagai tambahan, soal mobil ramah lingkungan tentu kita akan ingat Toyota Prius, toyota Prius masih mahal di Indonesia, karena masih diimport total dari luar negeri, pajaknya bisa sampai 45%. Toyota dan Tata tentu akan melobby pemerintah soal insentif untuk mobil ramah lingkungan (Bisnis Indonesia 25 Juli 2009).
Jadi mari kita tunggu akan kemanakah insentif itu; untuk si Gea, Prius, atau Nano, atau justru tidak akan pernah ada? Dan Gea? Siapa tahu takdirmu. Dan saya lebih baik mengundurkan diri dari soal prediksi-memprediksi ini. Kata Neils Bohr, memprediksi itu sulit, apalagi menyangkut masadepan. Kalau kata saya, memprediksi itu…entahlah, apalagi soal Indonesia.
Salam
w…
NB: Selamat dan sukses untuk Komodo produk dalam negeri!
Filed under: Lingkungan, otomotif | 5 Comments
Tags: car, efficiency, gea, Lingkungan, market, mobnas, tips, trend
Cara bermobil para pencinta…!
Akhir-akhir ini saya sering mendengar beberapa orang yang membicarakan tentang bagaimana bersahabat dengan alam, bersahabat dengan lingkungan. Bahkan ada yang menyarankan kalo bersahabat dengan lingkungan seseorang seharusnya menjadi vegetarian (tidak makan daging). Seperti kita tahu daging didapat dari sapi dan sejenisnya. Peternakan sapi menghasilkan methane, dan methane adalah penyumbang GHG, yang menyebabkan pemanasan global. Boleh jadi itu benar, tapi menurut IPCC penyumbang terbesar global warming masih gas-gas pencemar dari transportasi dan industri semacam CO2 dan CO.
Oleh karena itu, dan tentu saja dalam hal mereduksi gas pencemar itu semua orang bisa berpartisipasi meski tidak vegetarian. Enak kan? masih makan sate, gulai dan kawan-kawannya… Tujuan lain yang juga sangat penting adalah; menghemat energi fosil kita yang semakin hari stock-nya smakin menipis. Jadi tulisan ini akan membahas bagaimana cara bermobil seorang pecinta lingkungan (sebutlah kemudian begitu)
Barangkali sebagain orang yang belum tahu, bahwa kurang lebih hanya 10% energi dari bensin yang terbakar di mesin mobil benar-benar untuk memindahkan mobil dari tempat satu ke tempat lain. 90% lainnya hilang disebar ke lingkungan dan plus sedikit persen untuk CD player dan AC..itu pun kalo tidak macet cet!. Misalkan sedan yang kira-kira beratnya 10 kali berat rata-rata seorang manusia, then should I calculate berapa % energi bensin yang sebenarnya digunakan oleh satu orang untuk berpindah dari tempat A ke tempat B? Wow…! oh tapi ketahuan sudah, bahwa sebagain besar energi bensin itu hilang, dan parahnya setiap liter bensinnya mencemari udara (gas buang CO, CO2 dan kawan kawannya!)
Jadi sebenarnya ke mana energi dari bensin kita itu, dan bagaimana supaya lebih efficient dan bersahabat dengan lingkungan.
Pertama, tentu efisiensi mesin sendiri, yaitu efisiensi pembakaran. Sampai saat ini menurut EPA, mesin internal combustion engine (ICE) mempunyai efisiensi sebesar 37.9 %. 62.1 % energi bensin “musnah” dalam pembakaran. Jadi kalo bensin yang terbakar berjumlah tertentu yang nilai energinya, misalnya 100 MJ (mega joule), maka hanya 37.9 MJ yang didapat dan dan digunakan untuk menggerakkan mobil.
Kedua, Saat seorang pengemudi menginjak pedal gas, ada kehilangan energi untuk melawan berat mobil sendiri. Loss- nya adalah berat mobil dikalikan accelerasi mobil (m/detik kuadrat) dibagi dengan waktu dari diam (0 km/jam) ke kecepatan yang dikehendaki (misalkan 60 km/jam). Jadi karena waktu sebagai pembagi, maka semakin lama mobil bergerak dari 0 ke 60 km/jam (semakin pelan pengemudi menginjak gas) maka makin iritlah mobil itu. Oleh karena itulah berkendara di kota yang macet, banyak lampu lalu lintas, itu jauh lebih boros dari berkendara di kota yang sepi. atau dengan kata lain, nginjak gas-ngerem itu benar-benar membuat boros.
Ketiga, saat mobil jalan, ada dua hambatan yang bikin energi bensin mobil “hilang”:
- Aerodinamic drag force, sepertinya kalo mahasiswa mesin mekanika fluida tahu apa ini drag force. Saya cuma tahu sedikit. Tapi pastinya drag force ini adalah parameter aerodinamika (apa lagi coba..?). Intinya sih bentuk mobil dan kecepatan berpengaruh terhadap berapa drag force ini. Drag force adalah fungsi kecepatan mobil. Jadi semakin lambat seseorang berkendara, maka akan mereduksi drag force ini. Taruhlah mengurangi kecepatan rata rata dari 70 km/jam ke 50 km/jam akan menghemat bensin kalian.
- Rolling ressitance, adalah energi yang terbuang untuk menghadapi gravitasi, selain itu rolling resistance ada hubungannya dengan kondisi ban (interaksi ban dan jalan). Karena gravitasi selalu berhubungan dengan berat maka semakin ringan mobil seseorang maka semakin kecil rolling resistance-nya. Tak heran, jika sekarang di dunia juga lagi nge-trend penelitian pada apa yang disebut weigth reduction untuk automobile, seperti penggunaan sejumlah aluminum dan mengurangi fraksi baja pada badan mobil. Karena rolling resistance adalah fungsi ban juga, maka memompa ban sesuai standart operasional mobil juga membantu menghemat bahan bakar.
Itulah kira-kira kemana saja energi bahan bakar jika kita bermobil. Jadi kesimpulan berikut bisa juga adalah ciri-ciri para pecinta lingkungan:
Satu, Kalau beli mobil ia memperhatikan konsumsi bahan bakar per kilometer atau berapa kilometer/1liternya, di amerika disebut mils per gallon atau MPG. Semakin besar MPG semakin bagus, selain bersahabat dengan lingkungan juga secara ekonomi (uang) lebih hemat.
Kedua, selalu berkendara dengan santai di jalan, mengatur kecepatan, ngegas pelan, ngerem juga pelan. Dan menghindari kemacetan, pergi pagi pulang malam.!?
Ketiga, mengusahakan naik kendaraan umum atau berganti mode kendara yang lain misal sepeda, kalo jarak tempuh kantornya dan rumah tak terlalu jauh.
So begitulah ceritanya, semoga bermanfaat. Di kesempatan lain saya akan menulis tentang mobil hybrid? Kenapa hybrid kenapa tidak kendaraan bertenaga hydrogen atau listrik?
salam
w…
NB: Gambar Prius 2010 didapat dari http://www.toyota.com
Filed under: Classic Energy, environment, Lingkungan | Leave a Comment
Tags: car, efficiency, environment, future energy, Lingkungan, tips
How hydrogen fueled car work?
Hydrogen is one of the potential fuel- energy carriers. It has higher energy density than that of currently used fuel such as gasoline. When it is used in the transportation/mobile it will not result any of dangerous gas or any other pollutants, in other words it would totally green and efficient. This video shows how hydrogen fueled vehicle works. The main power driver in this kind of vehicle are motors that powered by electricity from the fuel cell (engine system that works based on chemical cell principle). It also can be seen how such fuel cell work. So enjoy!
Filed under: hydrogen | Leave a Comment
Tags: car, fuel cell, future, hydrogen, zero emmision